Sepasang
Burung Kertas
(terbelenggu
Rindu)
Malam
ini begitu gelap tanpa bintang dan
rembulan hadir menemaniku dalam sepi. Hanya bunyi nada dari ponselku
yang terdengar. Lagu-lagu mellow
Agnez Mo dan Demi Lovato mengalun indah mengisi relung kamarku dan relung
jiwaku seakan larut dalam dendangan indah lagu itu. Ku pandangi langit yang
nampak hitam legam tanpa cahaya yang menyinarinya. Aku rindu kamu Sinta,
desisku.
Pacaran
jarak jauh memang sangat sulit buatku.Apakah aku masih bisa bertahan dengan
keadaan ini? Apakah ia masih setia dengan ku dan menjaga hatinya buatku?
Ataukah dia sudah berpaling dan melupakan semua cerita indah dulu sewaktu masih
berada di sini satu kota bersamaku. Kenapa kamu pindah keluar kota Sin? Ucapku
membatin. Aku mendekapkan tanganku ke kakiku tertunduk menatap lantai kamarku.
Ponselku berdering. Ku lihat sekilas. Aneh, tak biasanya dia nelpon duluan. Ku angkat
telpon dari Sinta dengan riang bak narapidana yang terbebas dari tahanan.
“Hallo
sayang?” ucapku
“Beib,
lagi ngapain? Udah tidur?”
“Belum,
lagi mikirin kamu sayang. Gimana keadaan kamu?
“Baik
beib, udah dulu ya beib. Aku udah ngantuk nih besok ada kuliah pagi. Jangan malam-malam
tidurnya ya,beib. I miss u” ucapnya langsung mematikan
ponselnya tanpa memberiku kesempatan membalasnya.
“I miss
u too,” balasku getir. Ada yang berubah darinya. Nada bicaranya, sikapnya, gak
seperti biasanya. Ada apa gerangan? Apakah negative
thinking ku selama ini benar adanya? Entahlah. Ku lirik lagi ponselku
berharap dapat SMS dari dia untuk mengucapkan selamat tidur seperti yang biasa
ia lakukan dulu sewaktu masih di Palembang. Ah, dia benar-benar berubah?
Gerutuku sambilmeremas rambut pendekku.
**
Hari
ini, di pagi yang cerah ku awali aktivitas ku seperti biasa jadi pramugari busway tranmusi yang ada di kotaku. Ku
rapikan seragam ku dan langsung bergegas menuju kantor tempatku bekerja. Ku
startirkan motor vixion ku tak lupa
memasangkan help favoritku dan langsung tancap gas layaknya pembalap yang
professional.
“Kenapa
murung yo? Ada masalah?” ujar Yoga teman seprofesiku.
“Gak
ada kok ga. Hanya ada satu masalah yang mengganjal di perutku. Laper!” balasku.
Yoga hanya terkekeh.
Terik
matahari siang ini begitu menyengat. Tak kenal kompromi. Tak peduli dengan
semua orang yang ada di bumi ini yang sudah kegerahan bak cacing kepanasan.
Menggeliat. Ku persilahkan penumpang masuk setelah sampai di depan kampus PGRI
tempat Sinta kuliah dulu yang sekarang sudah pindah ke luar kota.
Jam
menunjukkan pukul 1 siang itu artinya sip pekerjaanku sudah selesai dan di
gantikan dengan pramugara yang lain. Saatnya pulang. Bisikku. Sesampainya di
rumah. Aku langsung ke meja makan untuk makan siang yang sudah disiapkan ibu.
Tanpa mengganti baju, langsung ku embat makanan yang ada di meja. Sungguh
kebiasaan burukku makan dulu tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Sebelum
hampir memasukkan makanan ku ke mulut, aku tertegun mendapati sepasang burung
yang terbuat dari kertas yang tengah di mainkan adik kecilku yang usianya
terpaut 15 tahun dariku. Ingatan ku kembali melihat sepasang burung yang di
mainkan adikku, Nisa. Kertas itu mengingatkan ku dengan seseorang. Seseorang
yang jauh di sana. Jauh di mataku tapi dekat di hatiku. Sangat dekat. Ku
urungkan niat makan siang ku yang berubah menjadi tidak ada nafsu sama sekali
untuk mencicipi masakan lezat ibuku. Ibu yang sedari tadi duduk sambil nonton
tv seakan aneh melihat tingkahku. Seakan bertanya ada apa dengan anakku?
Ku
baringkan tubuh tegapku ke kasur empukku. Ku lihat foto yang tergeletak di meja
samping kasurku. Nampak foto dua insan yang sedang memegang sepasang burung
kertas. Ingatan ku kembali menyerbu otakku. Aku ingat dengan semua background dari secercik foto berfigura
cokelat itu. Waktu itu, aku sedang bertandang ke rumah sinta untuk membantunya
mengerjakan tugas kuliah sewaktu masih kuliah di kampus lama. Di tengah
keseriusan Sinta dalam mengerjakan tugasnya, aku iseng bikin seekor burung
kertas yang ku ambil dari binder milik Sinta yang nampak berwarna pink.
“Bikin
apa, beib? Daripada gak ada kerjaan mending bantuin aku ngerjain tugas proposal
ini. Katanya mau bantuin aku? Gimana sih” ucap Sinta merengek manja.
“Iya,
ya. Tunggu dulu sayang aku lagi bikin sesuatu nih buat kamu” balasku tanpa
menoleh ke arahnya dan lebih memilih fokus melipat-lipat kertasmembuat sesuatu
untuk sang pujaan hati. Sinta hanya terpaku melihat kepiawaianku membuat
sesuatu yang dia belum ketahui.
“
Taraaaa...... ini buat kamu sayang” ucap ku sambil menyodorkan burung kertas
yang telah ku buat lalu mengecup indah keningnya.
“Makasih
ya, beib. Tapi kok cuma satu? Pasangannya mana?” balas Sinta menatapku
“Yang
satunya kamu yang bikin dong, tapi jangan pake kertas warna pink ya sayang.”
Balasku mengacak-ngacak indah rambutnya.
Ingatan
itu masih terngiang-ngiang di otakku. Ingat sekali waktu aku mengajari dia
membuat burung kertas itu, burung yang di buat dengan penuh perasaan dan penuh
cinta. Aku kangen kamu sayang. Aku kangen masa-masa itu. masa di mana cinta
kita semakin tumbuh subur dan berbunga indah layaknya sebuah tanaman. Aku
kangen kamu sayang, desisku.
Getaran di hatiku yang lama haus akan
belaianmu.
Seperti saat dulu, saa-saat pertama
kau dekap dan kau kecup bibir ini.
Dan kau bisikkan kata-kata,
Aku cinta kepadamu..
Lagu
itu mengalun indah di hatiku. Aku tak tahu kapan kau datang menemuiku. Apakah
kau juga merindukanku? Jika benar, sama besarkah kerinduan yang kau rasakan
seperti diriku?
Seketika
langit nampak murung tanpa keceriaan menghampirinya. Langit seakan dapat merasakan
apa yang ku rasakan. Butiran-butiran debu melayang tak tentu arah pasrah di
hempaskan oleh sang angin. Daun-daun riuh seakan meneriakkan kata rindu yang
mewakili perasaanku akan rindu terhadapnya. Ku pejamkan mata lalu mengucapkan sesuatu.
Angin, sampaikan rasa rinduku kepada seseorang yang jauh di sana, katakan bahwa
aku merindukannya. Aku mendesis. Angin bertiup kencang seolah mendengar
perkataanku dan bergegas menjalankan perintahku untuk menyampaikan salam
rinduku ku untuknya.Rindu yang mendekap di dalam relung hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar