Jumat, 09 Mei 2014

CERPEN Sepasang Burung Kertas

Sepasang Burung Kertas
(terbelenggu Rindu)

            Malam ini begitu gelap tanpa bintang dan  rembulan hadir menemaniku dalam sepi. Hanya bunyi nada dari ponselku yang terdengar. Lagu-lagu mellow Agnez Mo dan Demi Lovato mengalun indah mengisi relung kamarku dan relung jiwaku seakan larut dalam dendangan indah lagu itu. Ku pandangi langit yang nampak hitam legam tanpa cahaya yang menyinarinya. Aku rindu kamu Sinta, desisku.
           Pacaran jarak jauh memang sangat sulit buatku.Apakah aku masih bisa bertahan dengan keadaan ini? Apakah ia masih setia dengan ku dan menjaga hatinya buatku? Ataukah dia sudah berpaling dan melupakan semua cerita indah dulu sewaktu masih berada di sini satu kota bersamaku. Kenapa kamu pindah keluar kota Sin? Ucapku membatin. Aku mendekapkan tanganku ke kakiku tertunduk menatap lantai kamarku. Ponselku berdering. Ku lihat sekilas. Aneh, tak biasanya dia nelpon duluan. Ku angkat telpon dari Sinta dengan riang bak narapidana yang terbebas dari tahanan.
            “Hallo sayang?” ucapku
            “Beib, lagi ngapain? Udah tidur?”
            “Belum, lagi mikirin kamu sayang. Gimana keadaan kamu?
            “Baik beib, udah dulu ya beib. Aku udah ngantuk nih besok ada kuliah pagi. Jangan malam-malam tidurnya ya,beib. I miss u” ucapnya langsung mematikan ponselnya tanpa memberiku kesempatan membalasnya.
            “I miss u too,” balasku getir. Ada yang berubah darinya. Nada bicaranya, sikapnya, gak seperti biasanya. Ada apa gerangan? Apakah negative thinking ku selama ini benar adanya? Entahlah. Ku lirik lagi ponselku berharap dapat SMS dari dia untuk mengucapkan selamat tidur seperti yang biasa ia lakukan dulu sewaktu masih di Palembang. Ah, dia benar-benar berubah? Gerutuku sambilmeremas rambut pendekku.
**
            Hari ini, di pagi yang cerah ku awali aktivitas ku seperti biasa jadi pramugari busway tranmusi yang ada di kotaku. Ku rapikan seragam ku dan langsung bergegas menuju kantor tempatku bekerja. Ku startirkan motor vixion ku tak lupa memasangkan help favoritku dan langsung tancap gas layaknya pembalap yang professional.
            “Kenapa murung yo? Ada masalah?” ujar Yoga teman seprofesiku.
            “Gak ada kok ga. Hanya ada satu masalah yang mengganjal di perutku. Laper!” balasku. Yoga hanya terkekeh.
            Terik matahari siang ini begitu menyengat. Tak kenal kompromi. Tak peduli dengan semua orang yang ada di bumi ini yang sudah kegerahan bak cacing kepanasan. Menggeliat. Ku persilahkan penumpang masuk setelah sampai di depan kampus PGRI tempat Sinta kuliah dulu yang sekarang sudah pindah ke luar kota.
            Jam menunjukkan pukul 1 siang itu artinya sip pekerjaanku sudah selesai dan di gantikan dengan pramugara yang lain. Saatnya pulang. Bisikku. Sesampainya di rumah. Aku langsung ke meja makan untuk makan siang yang sudah disiapkan ibu. Tanpa mengganti baju, langsung ku embat makanan yang ada di meja. Sungguh kebiasaan burukku makan dulu tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Sebelum hampir memasukkan makanan ku ke mulut, aku tertegun mendapati sepasang burung yang terbuat dari kertas yang tengah di mainkan adik kecilku yang usianya terpaut 15 tahun dariku. Ingatan ku kembali melihat sepasang burung yang di mainkan adikku, Nisa. Kertas itu mengingatkan ku dengan seseorang. Seseorang yang jauh di sana. Jauh di mataku tapi dekat di hatiku. Sangat dekat. Ku urungkan niat makan siang ku yang berubah menjadi tidak ada nafsu sama sekali untuk mencicipi masakan lezat ibuku. Ibu yang sedari tadi duduk sambil nonton tv seakan aneh melihat tingkahku. Seakan bertanya ada apa dengan anakku?
            Ku baringkan tubuh tegapku ke kasur empukku. Ku lihat foto yang tergeletak di meja samping kasurku. Nampak foto dua insan yang sedang memegang sepasang burung kertas. Ingatan ku kembali menyerbu otakku. Aku ingat dengan semua background dari secercik foto berfigura cokelat itu. Waktu itu, aku sedang bertandang ke rumah sinta untuk membantunya mengerjakan tugas kuliah sewaktu masih kuliah di kampus lama. Di tengah keseriusan Sinta dalam mengerjakan tugasnya, aku iseng bikin seekor burung kertas yang ku ambil dari binder milik Sinta yang nampak berwarna pink.
            “Bikin apa, beib? Daripada gak ada kerjaan mending bantuin aku ngerjain tugas proposal ini. Katanya mau bantuin aku? Gimana sih” ucap Sinta merengek manja.
            “Iya, ya. Tunggu dulu sayang aku lagi bikin sesuatu nih buat kamu” balasku tanpa menoleh ke arahnya dan lebih memilih fokus melipat-lipat kertasmembuat sesuatu untuk sang pujaan hati. Sinta hanya terpaku melihat kepiawaianku membuat sesuatu yang dia belum ketahui.
            “ Taraaaa...... ini buat kamu sayang” ucap ku sambil menyodorkan burung kertas yang telah ku buat lalu mengecup indah keningnya.
            “Makasih ya, beib. Tapi kok cuma satu? Pasangannya mana?” balas Sinta menatapku
            “Yang satunya kamu yang bikin dong, tapi jangan pake kertas warna pink ya sayang.” Balasku mengacak-ngacak indah rambutnya.
            Ingatan itu masih terngiang-ngiang di otakku. Ingat sekali waktu aku mengajari dia membuat burung kertas itu, burung yang di buat dengan penuh perasaan dan penuh cinta. Aku kangen kamu sayang. Aku kangen masa-masa itu. masa di mana cinta kita semakin tumbuh subur dan berbunga indah layaknya sebuah tanaman. Aku kangen kamu sayang, desisku.
            Getaran di hatiku yang lama haus akan belaianmu.
            Seperti saat dulu, saa-saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini.
            Dan kau bisikkan kata-kata,
            Aku cinta kepadamu..
            Lagu itu mengalun indah di hatiku. Aku tak tahu kapan kau datang menemuiku. Apakah kau juga merindukanku? Jika benar, sama besarkah kerinduan yang kau rasakan seperti diriku?
            Seketika langit nampak murung tanpa keceriaan menghampirinya. Langit seakan dapat merasakan apa yang ku rasakan. Butiran-butiran debu melayang tak tentu arah pasrah di hempaskan oleh sang angin. Daun-daun riuh seakan meneriakkan kata rindu yang mewakili perasaanku akan rindu terhadapnya. Ku pejamkan mata lalu mengucapkan sesuatu. Angin, sampaikan rasa rinduku kepada seseorang yang jauh di sana, katakan bahwa aku merindukannya. Aku mendesis. Angin bertiup kencang seolah mendengar perkataanku dan bergegas menjalankan perintahku untuk menyampaikan salam rinduku ku untuknya.Rindu yang mendekap di dalam relung hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar