Jumat, 09 Mei 2014

PUISI


Hilang
 
Hilang
Pergi
Melayang

Kepercayaan tak dikenal
Kebohongan bersuara
Nasip dipertaruhkan

Suara-suara bijak kini hening menyapa
Suara-suara kebenaran yang jauh dari mata
Suara-suara relung batin yang haus merana

Haruskah kita menutup telinga
Untuk kejayaan di masa depan


Idola

Mempesona, itulah dia
Sosoknya mengagumkan
Hati banyak wanita

Parasnya menawan
Ditambah kepopuleran yang ia punya
Dia terlihat sempurna

Kata orang dia lelaki tampan
Yang suka gonta ganti wanita
Kata orang dia lelaki bergelimang harta
Yang mudah mendapatkan hati wanita

Kau idolaku
Teruslah berkarya
Menghebat diantara yang terhebat
Merendah diantara yang meninggi
Sungguh kau idola sempurna

CERPEN Asli tapi Palsu




Asli tapi Palsu
 
            Pagi yang cerah. Mentari seakan menyapaku di pagi ini. Burung-burung di teras rumahku bersiulan seakan mengajakku untuk bernyanyi. Hari ini aku mulai aktivitas seperti biasa pergi kesekolah. Sekolah yang menjadi saksi bisu perjalanan dalam memperoleh pendidikanku dibangku SMA. Sesampainya di kelas yang berada dilantai dua aku langsung menuju tempat dudukku. Penghuni kelas sudah ramai, bercengkerama satu sama lain. Suasana kelas gaduh bak pasar pagi yang dikunjungi banyak orang. Beberapa menit kemudian pak Rian guru bahasa Indonesia yang terkenal kiler itupun muncul dari balik pintu. Semua siswa yang tadinya ribut ngerumpi, berubah drastis jadi sepi seperti di kuburan. “Selamat pagi anak-anak” sapa pak Rian. Semua siawa menjawab serempak “Pagi pak”. “Kemarin ada tugas membuat cerpen, sekarang tugasnya dikumpul”, timpal pak Rian lagi.
Satu per satu kantung tas berwarna pink itu aku buka. Pink seperti warna bibir guru yang mengajar matematika di kelasku, tapi tak juga kutemukan buku yang ku cari. “Sial di mana sih buku itu?”. Sejenak aku terdiam mencoba untuk mengingat-ingat dimanakah keberadaan buku itu. “Gue ingat, aduh bukunya ketinggalan. Tugas gue, mampus bakal dapet hadiah nih dari pak Rian”. “Dinda”, pak Rian sudah manggil namaku. Aku pura-pura tidak mendengar, apa kata dunia aku dihukum pak Rian gara-gara tidak mengumpul tugas. Sepertinya aku kenal wangi parpum ini tapi siapa ya? Teman-teman di kelas minyak wangi yang dipakai membuat pusing kepala, tapi yang satu ini beda. Wanginya membuatku seperti tak sadarkan diri. Aku yakin sekarang  aku lagi ada di surga, oh Tuhan indahnya. Tiba-tiba praakk, pak Rian memukul mejaku membuat buyar lamunanku. Strategi awal pura-pura tidak merasa bersalah, “ Pak tangannya pasti sakit, bapak sih meja kok dipukul”, mencoba merayu. “Apa kamu mau bapak memukulmu biar kamu yang sakit?”. “Maaf pak, tugasnya ketinggalan”, “tidak ada alasan sekarang kamu hormat kepada bendera ditengah lapangan selama jam pelajaran”. Berat sekali kakiku melangkah meninggalkan kelas, tapi aku ikuti saja apa kata pak Rian nanti pak Rian lebih menakutkan daripada ketemu raja singa di hutan.
Dengan wajah kemerahan kulangkahkan kaki keluar kelas menuju halaman sekolah. Hari ini aku mengukir sejarah yang tidak akan terlupakan. Sejarah selama duduk dibangku sekolah. Tiba-tiba di halam sekolah.
“Hmm” Riko menghampiri Dinda.
“Riko, ngapain loe ke sini? Mau ngejek gue” menatap sinis.
“Jelek loe kalau lagi marah” menggoda Dinda.
“Emang gue pikirin”
“ Gue dihukum juga”
What? Gue nggak salah” Dinda tidak mempercayai perkataan Riko kalu dia juga dihukum.
“Loe nggak salah kok Din” menatap Dinda.
“Dasar pemalas” ejek Dinda.
“Sama, loe juga” balas Riko.
“Tugas gue ketinggalan”.
.“Tugas gue ada di tas”.
“Terus kenapa nggak loe kumpul? Seneng banget dihukum”.
“Asal dihukumnya sama loe sih nggak apa-apa gue rela” Riko menunjukkan jurus rayuannya.
            Riko memang sudah lama menaruh hati padaku, tapi aku tak pernah menanggapinya. Dengan kaca matanya yang besar, pinggang celana melingkar di atas pusat membuatku tak habis pikir dengannya. Zaman modern seperti saat ini masih ada mahluk sejenisnya. Matahari semakin menampakkan sinarnya, rasa haus hampir tak tertahan lagi olehku. Melihat energiku hampir habis seperti amper kendaraan menunjuk garis merah Riko mencoba mencairkan suasana.
“Din loe ngefans ama Raffi Ahmad kan?”
“Kok loe tau sih?”
“Tau dong, loe kan tau kalau gue itu pengagum rahasia loe”
“Lebay banget sih, di mana-mana kalau rahasia itu nggak ada yang tau cupu”.
“Loe mau ketemu ama Raffi nggak?”
“Gimana caranya Rik gue bisa ketemu ama Raffi?”
“Kakak gue temenan ama si Raffi”
“Loe serius Rik? Berarti gue bisa ketemu sama Raffi. Kapan gue bisa ketemu ama Raffi?
“Pulang sekolah ini kita langsung ke rumah, kata kakak gue Raffi mau main ke rumah”.
Jam pelajaran pak Rian pun selesai dan hukuman aku dan Riko pun berakhir.
            Sepulang sekolah aku dan Riko langsung menuju rumahnya. Tak pernah terlintas sedikit pun dibenakku bertemu dan melihat Raffi Ahmad secara langsung. Apa ya kira-kira perbedaannya melihat di TV dan melihat secara langsung, lebih ganteng mungkin aku mencoba membanyangkan sosok Raffi dihadapnku.Ternyata Riko orangnya romantis dan penuh kejutan. Sebelum aku bertemu sama Raffi, Riko menutup mataku dengan sehelai kain dituntunnya perlahan-lahan melangkah menuju di mana Raffi berada. Setelah hitungan ketiga dengan perlahan tapi pasti aku membuka mataku. Denyut jantungku bedetak lebih cepat seperti olahragawan habis lari satu kilometer. Saat mataku terbuka dengan jelas kucari-cari keberadaan Raffi tapi tak kutemukan sosok Raffi yang dijanjikan. Kudapati hanya kakak Riko dan ketiga temannya sedang tertawa seraya mengejekku.
“Din ini yang namanya Raffi Ahmad yang gue janjiin sama loe” sambil menunjuk laki-laki yang katanya Raffi Ahmad tapi palsu. Namanya asli sama tapi orannya lima kali lipat beda sekali layaknya gambar koin mata uang di kedua sisinya.
“Candaan loe  nggak lucu Rik, bukan Raffi temen kakak loe yang gue kagumi tapi Raffi Ahmat yang sering muncul di TV” ibarat bom yang sebentar lagi mau meledak yang aku rasakan saat itu kalau Riko membohongiku. Dengan hati kecewa dan marah aku pergi meninggalkan Riko, kakaknya dan teman-teman kakanya. Riko pasti seneng sekali akhirnya dia bisa membuatku malu dan mempermainkanku.
            Keesokan harinya di sekolah aku berharap tak melihat sosok Riko dihadapanku. Kecewa yang kurasakan atas perlakukannya membuatku semakin membencinya. Mengapa aku harus mempercayainya, “bodoh” sambil memukul kepalaku. “Nanti kesambet loe ngelamun aja dibawah pohon” tiba-tiba Riko menghampiriku dan membuyarkan lamunanku. Aku terdiam pura-pura tak melihat dan mendengar sapaannya. Kenapa Riko harus muncul dihadapanku saat ini dengan wajah tanpa dosa yang ia perlihatkan. “Dinda, gue minta maaf atas kejadian kemarin, gue nggak maksud mau ngebohongi loe” Riko mencoba mengajakku berbicara kembali. Sayangnya aku lebih tertarik melanjutkan lamunanku daripada menghiraukan Riko. Riko mencoba menyambung pembicaraannya kembali “gue sadar, gue udah keterlaluan sama loe, awalnya buat candaan gue biar bisa dekat dengan loe Din tapi loenya malah marah gini” Riko mencoba menjelaskan tapi seperti kata pepatah nasi sudah menjadi bubur, anak panahnya sudah menancap tepat dihatiku. Bibirku tak ingin bergetar, kata-kata pun enggan terucap dari bibirku yang manis. Karena tak mendapatkan satu jawaban pun dariku atas semua pertanyaannya Riko pergi meninggalkanku dan lamunanku. Apa yang dirasakan Riko sama seperti yang aku rasakan saat ini, kecewa.


CERPEN Sepasang Burung Kertas

Sepasang Burung Kertas
(terbelenggu Rindu)

            Malam ini begitu gelap tanpa bintang dan  rembulan hadir menemaniku dalam sepi. Hanya bunyi nada dari ponselku yang terdengar. Lagu-lagu mellow Agnez Mo dan Demi Lovato mengalun indah mengisi relung kamarku dan relung jiwaku seakan larut dalam dendangan indah lagu itu. Ku pandangi langit yang nampak hitam legam tanpa cahaya yang menyinarinya. Aku rindu kamu Sinta, desisku.
           Pacaran jarak jauh memang sangat sulit buatku.Apakah aku masih bisa bertahan dengan keadaan ini? Apakah ia masih setia dengan ku dan menjaga hatinya buatku? Ataukah dia sudah berpaling dan melupakan semua cerita indah dulu sewaktu masih berada di sini satu kota bersamaku. Kenapa kamu pindah keluar kota Sin? Ucapku membatin. Aku mendekapkan tanganku ke kakiku tertunduk menatap lantai kamarku. Ponselku berdering. Ku lihat sekilas. Aneh, tak biasanya dia nelpon duluan. Ku angkat telpon dari Sinta dengan riang bak narapidana yang terbebas dari tahanan.
            “Hallo sayang?” ucapku
            “Beib, lagi ngapain? Udah tidur?”
            “Belum, lagi mikirin kamu sayang. Gimana keadaan kamu?
            “Baik beib, udah dulu ya beib. Aku udah ngantuk nih besok ada kuliah pagi. Jangan malam-malam tidurnya ya,beib. I miss u” ucapnya langsung mematikan ponselnya tanpa memberiku kesempatan membalasnya.
            “I miss u too,” balasku getir. Ada yang berubah darinya. Nada bicaranya, sikapnya, gak seperti biasanya. Ada apa gerangan? Apakah negative thinking ku selama ini benar adanya? Entahlah. Ku lirik lagi ponselku berharap dapat SMS dari dia untuk mengucapkan selamat tidur seperti yang biasa ia lakukan dulu sewaktu masih di Palembang. Ah, dia benar-benar berubah? Gerutuku sambilmeremas rambut pendekku.
**
            Hari ini, di pagi yang cerah ku awali aktivitas ku seperti biasa jadi pramugari busway tranmusi yang ada di kotaku. Ku rapikan seragam ku dan langsung bergegas menuju kantor tempatku bekerja. Ku startirkan motor vixion ku tak lupa memasangkan help favoritku dan langsung tancap gas layaknya pembalap yang professional.
            “Kenapa murung yo? Ada masalah?” ujar Yoga teman seprofesiku.
            “Gak ada kok ga. Hanya ada satu masalah yang mengganjal di perutku. Laper!” balasku. Yoga hanya terkekeh.
            Terik matahari siang ini begitu menyengat. Tak kenal kompromi. Tak peduli dengan semua orang yang ada di bumi ini yang sudah kegerahan bak cacing kepanasan. Menggeliat. Ku persilahkan penumpang masuk setelah sampai di depan kampus PGRI tempat Sinta kuliah dulu yang sekarang sudah pindah ke luar kota.
            Jam menunjukkan pukul 1 siang itu artinya sip pekerjaanku sudah selesai dan di gantikan dengan pramugara yang lain. Saatnya pulang. Bisikku. Sesampainya di rumah. Aku langsung ke meja makan untuk makan siang yang sudah disiapkan ibu. Tanpa mengganti baju, langsung ku embat makanan yang ada di meja. Sungguh kebiasaan burukku makan dulu tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Sebelum hampir memasukkan makanan ku ke mulut, aku tertegun mendapati sepasang burung yang terbuat dari kertas yang tengah di mainkan adik kecilku yang usianya terpaut 15 tahun dariku. Ingatan ku kembali melihat sepasang burung yang di mainkan adikku, Nisa. Kertas itu mengingatkan ku dengan seseorang. Seseorang yang jauh di sana. Jauh di mataku tapi dekat di hatiku. Sangat dekat. Ku urungkan niat makan siang ku yang berubah menjadi tidak ada nafsu sama sekali untuk mencicipi masakan lezat ibuku. Ibu yang sedari tadi duduk sambil nonton tv seakan aneh melihat tingkahku. Seakan bertanya ada apa dengan anakku?
            Ku baringkan tubuh tegapku ke kasur empukku. Ku lihat foto yang tergeletak di meja samping kasurku. Nampak foto dua insan yang sedang memegang sepasang burung kertas. Ingatan ku kembali menyerbu otakku. Aku ingat dengan semua background dari secercik foto berfigura cokelat itu. Waktu itu, aku sedang bertandang ke rumah sinta untuk membantunya mengerjakan tugas kuliah sewaktu masih kuliah di kampus lama. Di tengah keseriusan Sinta dalam mengerjakan tugasnya, aku iseng bikin seekor burung kertas yang ku ambil dari binder milik Sinta yang nampak berwarna pink.
            “Bikin apa, beib? Daripada gak ada kerjaan mending bantuin aku ngerjain tugas proposal ini. Katanya mau bantuin aku? Gimana sih” ucap Sinta merengek manja.
            “Iya, ya. Tunggu dulu sayang aku lagi bikin sesuatu nih buat kamu” balasku tanpa menoleh ke arahnya dan lebih memilih fokus melipat-lipat kertasmembuat sesuatu untuk sang pujaan hati. Sinta hanya terpaku melihat kepiawaianku membuat sesuatu yang dia belum ketahui.
            “ Taraaaa...... ini buat kamu sayang” ucap ku sambil menyodorkan burung kertas yang telah ku buat lalu mengecup indah keningnya.
            “Makasih ya, beib. Tapi kok cuma satu? Pasangannya mana?” balas Sinta menatapku
            “Yang satunya kamu yang bikin dong, tapi jangan pake kertas warna pink ya sayang.” Balasku mengacak-ngacak indah rambutnya.
            Ingatan itu masih terngiang-ngiang di otakku. Ingat sekali waktu aku mengajari dia membuat burung kertas itu, burung yang di buat dengan penuh perasaan dan penuh cinta. Aku kangen kamu sayang. Aku kangen masa-masa itu. masa di mana cinta kita semakin tumbuh subur dan berbunga indah layaknya sebuah tanaman. Aku kangen kamu sayang, desisku.
            Getaran di hatiku yang lama haus akan belaianmu.
            Seperti saat dulu, saa-saat pertama kau dekap dan kau kecup bibir ini.
            Dan kau bisikkan kata-kata,
            Aku cinta kepadamu..
            Lagu itu mengalun indah di hatiku. Aku tak tahu kapan kau datang menemuiku. Apakah kau juga merindukanku? Jika benar, sama besarkah kerinduan yang kau rasakan seperti diriku?
            Seketika langit nampak murung tanpa keceriaan menghampirinya. Langit seakan dapat merasakan apa yang ku rasakan. Butiran-butiran debu melayang tak tentu arah pasrah di hempaskan oleh sang angin. Daun-daun riuh seakan meneriakkan kata rindu yang mewakili perasaanku akan rindu terhadapnya. Ku pejamkan mata lalu mengucapkan sesuatu. Angin, sampaikan rasa rinduku kepada seseorang yang jauh di sana, katakan bahwa aku merindukannya. Aku mendesis. Angin bertiup kencang seolah mendengar perkataanku dan bergegas menjalankan perintahku untuk menyampaikan salam rinduku ku untuknya.Rindu yang mendekap di dalam relung hatiku.